Perempuan boleh berotot

Perempuan Boleh Berotot
Ilustrasi Perempuan berotot. (Foto Istimewa: by Pinterest)

Hari ini dirayakan cukup meriah, saya melihat banyak perempuan hebat tersenyum lebar dengan poster di tangannya. Hari Perempuan Sedunia yang ditetapkan pada 8 Maret ini sangat penting untuk merawat dan mewariskan perjuangan perempuan kepada generasi penerus agar perjuangan para leluhur kita tidak terputus sampai di sini.

Anak-anak muda harus terus mendapatkan edukasi soal kesetaraan. Mereka harus memahami dampak keberadaan patriarki, diskriminasi, dan rasis. Hidup ini sudah cukup sulit, jangan dipersulit lagi dengan melanggengkan budaya-budaya yang menyudutkan sebagian golongan.

Menyadari hal itu, aku sendiri melatih diriku secara mental dan fisik agar kuat menjalani hidup sebagai perempuan di tengah budaya patriarki karena pengalaman mengajarkanku bahwa akan ada momen di mana tidak ada orang lain yang bisa mendukung atau menyelamatkanmu kecuali dirimu sendiri.

Misalnya, dulu ketika dihadapkan dengan kekerasan seksual aku cenderung memilih diam dan ketakutan, aku selalu menaruh harap kepada orang lain untuk membantuku. Kini, kerap kali terpikirkan bagaimana aku bersikap nanti jika dihadapkan kembali dengan kekerasan seksual.

Jika saat itu kondisi emosionalku cukup baik, mungkin aku akan menegurnya dan meminta pertanggungjawaban dengan sopan. Namun, jika aku baru saja melewati hari yang buruk, besar kemungkinan aku akan memakinya atau bahkan menamparnya. Aku sudah mulai memupuk keberanian itu dari dua tahun belakangan dan semakin kuat setiap harinya.

Stereotipe Perempuan Berotot

Aku memilih latihan angkat beban untuk memperkuat kondisi fisik. Dengan begitu, aku bisa melindungi diriku sendiri bahkan melindungi orang terdekatku. Namun, selama perjalanan latihan aku menemukan stereotipe gender kalau perempuan tidak seharusnya berotot karena dinilai terlalu maskulin.

Menurutku, stereotipe itu datang dari orang-orang yang merasa dirinya tidak mampu berada di posisi tersebut sehingga dia merasa iri dan menyebarkan pandangan yang melemahkan perempuan. Mereka belum menyadari bahwa gender sebenernya adalah suatu konstruksi sosial, bukan konstruksi biologis.

Aku malah kagum dengan perempuan yang bisa konsisten berlatih hingga massa ototnya terus bertambah. Untuk memiliki tubuh berotot itu bukan perkara mudah.

Kita tidak bisa tiba-tiba terbangun di pagi hari dengan otot yang besar. Kita butuh latihan yang rutin dan asupan nutrisi yang memadai. Satu hal lagi, memiliki otot tidak akan mengubah perempuan menjadi laki-laki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *