Seorang penyintas kekerasan seksual memiliki memori pahit sepanjang sisa hidupnya. Walaupun mereka telah melalui kecemasan dan depresinya, tetapi memori itu akan terus melekat sehingga bisa menganggu kapan saja ketika ada pemicu. Mereka tidak lupa bagaimana rasanya takut, rendah diri, dan jijik akibat kekerasan seksual, apalagi ketika pelakunya adalah orang terdekat. Di HMI, terkenal istilah “Berteman lebih dari saudara,” tetapi adanya ikatan persaudaraan bukan berarti aman dari kekerasan seksual. Anggota HMI juga memiliki julukan sebagai moral force, tetapi kenyataannya ruang tabu bagi kekerasan seksual masih terasa di organisasi perkaderan dan perjuangan ini.
Masifnya budaya patriarki seolah enggan membiarkan anggota HMI terbebas dari guyonan seksis dan misoginis yang biasanya berujung pelecehan terhadap sesama. Buku ini mengajak kita untuk membangun budaya consen dalam tindak tanduk kita terhadap orang lain dan melihat dari sudut pandang korban lewat kilas balik para penyintas. Dari perempuan yang dicabuli ketika tidur atau perempuan yang diajak check in dan selalu digoda oleh orang seusia bapaknya. Namun, ketika mereka memperjuangkan haknya, mereka malah direndahkan dengan pertanyaan “Kekerasan atau kesukaan?” Ketidakadilan, intimidasi, dan diskriminasi membuat mereka kehilangan rasa nyaman dalam berproses di HMI dan memilih untuk pergi.
Buku ini mengandung beberapa adegan sensitif karena kronologi diceritakan secara gamblang. Maka dari itu, sebelum membaca buku ini kalian sudah diberi trigger warning agar kalian bisa mempersiapkan diri dan memilih untuk berhenti membaca bukunya ketika kalian merasa tidak nyaman. Bagian opini sebelum kilas balik juga sangat penting untuk menghindari pandangan buruk dari pembaca terhadap korban. Jadi, sebelum menghadapi cerita kasus kekerasan seksual, pembaca sudah mendapat penjelasan sehingga bisa menggunakan perspektif korban ketika sampai di kilas balik.