Pada tahun ini, orang-orang yang akan menjadi kandidat dalam pelaksanaan pemilu mendatang sudah mulai memperlihatkan diri. Melalui selentingan yang terdengar, waktunya sudah sempit untuk mendeklarasikan diri sebagai calon kandidat pada pemilu 2024.
Beberapa bulan yang lalu, tahapan pemilu sudah resmi dimulai. Masih jauh tahapan kampanye, para bakal calon pemilu tahun 2024 sudah bergerak menelisik ke kampung-kampung.
Lebih terang lagi, yang tengah menduduki jabatan juga datang kembali memperlihatkan diri. Mengemukakan segudang rencana besar, tidak berbeda dengan dahulu saat pertama kali datang. Wajah baru menjanjikan iming-iming perubahan sedangkan wajah lama terkesan menjanjikan pemenuhan janji.
Demokrasi memang menjadi perantara terbaik saat ini untuk salah satu tujuan besar negara yakni kesejahteraan rakyat. Partai politik membawa peran amat besar sehingga wajib dipercaya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Calon kandidat bersama partai politik yang menyertainya telah mulai menampakkan diri lebih jelas ke permukaan. Kepentingannya ialah menyampaikan suatu komitmen yang dibawanya. Selain itu, partai politik mulai mengutamakan kepentingan anggotanya yang secara umum dikatakan sebagai pengusung kepentingan masyarakat.
Gaung menuju 2024 berserakan di mana-mana, sampai pada pelosok desa yang sulit dijangkau. Kandidat pada tahun 2024 akan sangat luar biasa bahkan dalam satu desa tidak sedikit yang berani mencalonkan diri menjadi wakil rakyat pada pemilu mendatang. Dalam satu desa jumlahnya bisa mencapai 6 hingga 10 orang.
Selanjutnya, dapat kita nikmati seni dalam hal teknis merangkul masyarakat untuk bersama-sama membentuk dan mewujudkan komitmen. Membangun basis suara dengan bermacam cara bahkan isunya dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan main yang berlaku.
Entah masyarakat menggunakan pandangan semacam apa, kekuatan politik pada suatu wilayah telah menjadi salah satu ukuran yang dapat memengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan. Selain atas dasar keinginan dan keadaan, masyarakat memiliki harapan untuk mendapatkan manfaat yang besar, untuk kepentingan bersama dan jangka panjang.
Yang terjadi saat ini, banyak masyarakat telah keliru memahami makna kata politik. Pelaksanaan pemilu dinilai sebagai pewujudan untung-rugi, hal ini karena sebelumnya telah terbentuk pola pikir masyarakat semacam itu. Di dalam realitasnya, politik akan dianggap bagus apabila kandidat yang dipilih menang dan dia mendapat keuntungan tertentu. Politik akan dianggap kotor apabila kandidat yang dia perjuangkan kalah, atas dasar kerugian tertentu.
Dapat dikatakan bahwa perilaku masyarakat yang semacam itu secara signifikan memengaruhi mulianya tujuan besar demokrasi, pemilu, dan partai politik. Namun, akar masalah sebenarnya bukanlah masyarakat sepenuhnya melainkan dominan ada pada mereka yang menduduki jabatan politis. Mengapa demikian?
Awal mula pembentukan pola pikir masyarakat yang semacam itu berasal dari kesaksian terhadap cara kandidat dalam memperoleh suara. Sebab-akibat antara keduanya seharusnya terlebih dahulu dilihat dari sisi yang lebih tepat. Bahwa opini yang terbentuk di lingkungan masyarakat merupakan suatu akibat. Isu yang beredar luas ialah perihal janji-janji yang disampaikan oleh calon kandidat pemilu, tidak terpenuhinya janji mengubah pola perilaku masyarakat. Opini atau kesan awal yang diterima masyarakat adalah suatu perubahan-perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya.
Janji akan menjalankan kewenangan dengan baik, janji perihal kesejahteraan, sarana prasarana, bahkan mengucapkan janji akan memenuhi janji. Perlu juga untuk disimpulkan bahwa janji menjadi poin utama untuk menarik komitmen, meskipun tidak diungkapkan secara terang-terangan kepada khalayak.
Urusan utama selain janji ialah pencitraan, menunjukkan eksistensi dengan memanfaatkan media sosial yang digandrungi masyarakat sehingga menumbuhkan kesan baik di mana kesan tersebut menarik simpati masyarakat. Maka timbul harapan serta keyakinan bahwa kandidat tersebut layak menduduki jabatan yang diusahakannya.
Meskipun demikian, ketika janji tidak dipenuhi, maka kesan yang awalnya baik akan berbalik total menjadi suatu penilaian buruk di mata masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul perubahan dalam pola pikir, tindakan, tujuan dan karakter masyarakat sebagai pemilih. Hal ini memunculkan timbal balik yang berbeda, orientasi terhadap keuntungan menjadi poin utama untuk menyalurkan hak pilihnya kepada kandidat tertentu.
Terjadilah kesepekatan tak tertulis, barter antara kemenangan kandidat dengan keuntungan tertentu. Bahkan keuntungan yang berifat pribadi, tidak untuk kepentingan orang banyak. Atas dasar inilah kemudian muncul suatu budaya dalam masyarakat sehingga untuk menjadi kandidat yang memenangkan pemilu harus memiliki banyak modal. Selain dari terlihat banyak berbuat baik dan terkenal.
Untuk mengubah pola tersebut, maka budaya harus dibangun ulang, bukan dibangun sama dengan sebelumnya. Namun, membangun dengan perbaikan, mengarah kepada pola yang benar, yakni kepada nilai yang berlandaskan norma, moral, dan tujuan bersama. Siapa yang berperan dan siapa yang menjadi sasaran adalah penting untuk dipetakan. Misalnya anak muda, mereka harus segera diberikan fondasi yang benar sehingga membentuk pola pikir sesuai dengan keinginan pemilu yang sesungguhnya. Bawaslu dan KPU jelas dapat diharapkan pada bagian memberikan fondasi tersebut.
Mahasiswa sebagai kelompok muda yang berpendidikan harus berperan lebih baik, minimal dapat mengubah generasi di bawahnya untuk kemudian membentuk budaya baru. Bawaslu, KPU, dan anak muda memiliki peran yang sangat potensial dalam membangun budaya yang sebagaimana mestinya. Hal inilah yang perlu dibangun untuk menyongsong pemilu 2024.
Penulis: Masdiyanto (HMI Komisariat Ummat)