Indonesia Belum Ramah Anak

Hari Anak Nasional mulai ditetapkan sebagai salah satu hari penting pada 1984 berdasarkan gagasan Presiden Soeharto. Anak-anak dinilai sebagai aset kemajuan bangsa sehingga perayaan hari anak terus digelar hingga hari ini. Di Hari Anak Nasional tahun 2022 ini, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengusung tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" karena anak sebagai generasi penerus bangsa perlu didukung dan dilindungi agar tumbuh menjadi manusia yang bijaksana.
"Indonesia Belum Ramah Anak" | Ilustrasi ©Rara/LapmiTNG

Hari Anak Nasional mulai ditetapkan sebagai salah satu hari penting pada 1984 berdasarkan gagasan Presiden Soeharto. Anak-anak dinilai sebagai aset kemajuan bangsa sehingga perayaan hari anak terus digelar hingga hari ini. Di Hari Anak Nasional tahun 2022 ini, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” karena anak sebagai generasi penerus bangsa perlu didukung dan dilindungi agar tumbuh menjadi manusia yang bijaksana.

Tanpa membeda-bedakan atau diskriminatif, Pemerintah harus memberikan yang terbaik untuk generasi penerusnya, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Berupaya memenuhi setiap haknya. Indonesia harus menjadi negara yang ramah anak karena dengan begitu, Indonesia memiliki kesempatan untuk bangkit dari setiap kegagalan atau bahkan keterpurukan.

Anak-anak bukan hanya aset bagi negara, tetapi juga cerminan keberhasilan sistem pendidikan dan ekonomi di dalamnya. Jika tahun ini angka prevalensi stunting di Indonesia masih mencapai 24,4 persen berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia, berarti masih banyak orangtua yang kurang teredukasi pentingnya pemenuhan gizi anak atau masih rendahnya taraf ekonomi orangtua sehingga mereka tidak bisa memenuhi gizi anaknya. Walaupun angka prevalensi stunting di Indonesia tahun ini menurun dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 30,8 persen, tetapi 24,4 persen masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen.

Kemudian, bagaimana dengan anak-anak yang putus sekolah? Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ada 75.303 orang anak yang putus sekolah pada 2021. Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD) merupakan yang tertinggi, yaitu sebanyak 38.716 orang. Angka yang sangat tinggi ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam memastikan masyarakatnya mendapat pendidikan yang cukup. Lantas, bagaimana bisa kita berharap generasi mendatang bisa menjadi penerus yang bertanggungjawab dan berintegritas tinggi?

Apalagi dengan adanya pemberitaan terakhir tentang anak di Tasikmalaya yang depresi hingga meninggal dunia. Dia berusia sebelas tahun, dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman sebayanya kemudian direkam. Fenomena yang sangat menyayat hati ini bukanlah kisah horor melainkan benar-benar terjadi di negara kita. Seorang anak mendapat kekerasan seksual dari sekelompok anak seusinya. Jelas, pemerintah memiliki banyak PR untuk mewujudkan Indonesia yang ramah anak. Tanpa adanya kesungguhan dan komitmen dari pemerintah, maka cita-cita tersebut tidak akan terwujud.


Rara Tia (Ketua Forum Anak Kecamatan Batuceper, Kota Tangerang tahun 2014-2015)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *