Di kampung Kober, hiduplah seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun bernama Adam. Tingginya seratus tujuh puluh centimeter, kulitnya cerah, badannya atletis, dan rambut sebahu yang ikal. Adam merupakan sosok yang enak dipandang. Namun, rupa yang menarik tidak membuatnya puas. Dia sering diremehkan orang karena isi otaknya yang dianggap kosong. Bahkan ibunya sering memakinya karena cara berpikirnya yang lamban.
Suatu pagi yang sejuk, dia dibangunkan oleh ocehan ibunya yang merasa bahwa anaknya sama sekali tidak bermanfaat. Selain bodoh, Adam juga pemalas. Kegiatannya sehari-hari hanya rebahan, menonton Tiktok, dan nongkrong bersama teman-temannya. Hal itu jelas membuat ibunya geram. Di pagi itu, dia diminta untuk membuang sampah ke tempat pembuangan sementara (TPS) di kampungnya.
Dengan berat hati, dia meregangkan setiap otot di tubuhnya, berusaha mengumpulkan semangat untuk berjalan sejauh dua ratus meter. Perlahan dia melangkahkan kakinya sembari menjinjing dua kresek penuh berisi limbah rumah tangga yang lebih berat di satu sisi.
Sesampainya di TPS, dia melempar kedua kresek tersebut dengan sekuat tenaga sehingga membuat buntalan kresek lainnya awur-awuran. Adam yang seolah-olah sedang bermain bowling itu mengangkat kedua tangannya karena telah mencetak skor.
Di belakangnya, ada becak lewat yang melempar sebuah peci lusuh ke arahnya dan mengenai punggungnya.
“Aduuuh! Sial bener tukang becak.”
Dia mengarahkan telunjuknya ke arah becak tadi. Kemudian dia memungut peci tersebut dan membawanya pulang.
“Lumayan, nih, buat ngaji ntar malem.”
Di depan rumah, dia melihat ibunya sedang mengobrol dengan Wa Ida, tetangganya. Dari kejauhan, samar-samar dia mendengar obrolan seru kedua ibu-ibu itu.
“Haduuh, Wa, si Adam, mah, gak bisa diandelin. Saban hari kerjanya nguprek bae di kamar, maen HP. Mentang-mentang anak bujang, boro-boro bantuin emaknya beberes rumah. Disuruh sekolah yang tinggi biar pinter, dia ogah,” kata Arni, ibunya Adam.
“Atuh sama aja kayak anak gua, noh, si Iqbal. Boro-boro bisa dibanggain kayak anaknya Haji Salim yang sekarang udah jadi dokter.”
Semua kata-kata itu membuat hati Adam perih. Dia merasa martabatnya dijatuhkan oleh ibunya sendiri. Dia berjalan perlahan melewati kedua bidadari itu dan langsung mengunci diri di kamar. Dua jam ia merenungi perkataan ibunya tadi. Dirinya merasa gagal sebagai manusia karena tidak bisa menebar manfaat ke sekitarnya bahkan ke orang terdekatnya.
Setelah perenungan ia rasa cukup, tangannya dimasukkan ke saku celananya. Ia keluarkan peci lusuh tadi dan mengusap-usapnya, berharap noda dan kotorannya memudar agar bisa ia gunakan nanti malam.
Tiba-tiba, peci itu mengeluarkan asap putih yang memenuhi ruangan 3 x 2 meter itu. Karena panik dan mengira kebakaran, ia keluar dari kamar dan kembali membawa air satu ember. Saat masuk, ia dikejutkan dengan seorang pria berkulit gelap yang duduk di kasurnya.
“Siapa, lu?” kata Adam.
“Nama saya Cepu.”
“Ngapain lu di kamar gua?”
“Kan, tadi Tuan yang panggil saya.”
Ternyata peci tersebut peci ajaib yang berisi Jin bernama Cepu. Kini Adam adalah tuannya Cepu dan dia diberi tiga permintaan.
Permintaan yang pertama, Adam ingin disihir menjadi pandai mengaji. Kebetulan nanti malam dia akan mengikuti pengajian mingguan di Mushola dekat rumahnya. Adam ingin memastikan apakah Cepu ini benar-benar Jin yang dapat mengabulkan permintaannya.
Selepas solat Magrib, dia segera berangkat ke Mushola menggunakan peci ajaib. Saat Pak Ustadz meminta salah satu jamaah untuk membuka pengajian dengan Murottal, Adam menawarkan diri. Awalnya jamaah yang lain meremehkan Adam karena mereka tahu ia tidak bisa mengaji. Namun, saat dirinya mulai melantunkan ayat-ayat suci, seisi Mushola terdiam. Mereka terpesona dan menikmati merdunya suara Adam.
“Masyaallah, luar biasa Adam. Saya terharu mendengar kamu mengaji. Kenapa baru hari ini menawarkan diri?” kata Pak Ustadz
“Saya malu, Pak, hehe.”
Seusai pengajian, Pak Ustadz menghampiri Adam. Dia meminta Adam untuk menggantikannya mengisi kelas tajwid besok sore.
“Kebetulan besok saya ada urusan mendadak, tolong gantikan saya, ya, Dam! Mudah, kok, materinya, cuma hukum nun mati dan tanwin aja,” kata Pak Ustadz.
“Hu..hukum apa Pak Ustadz?”
“Nun mati dan tanwin, ikhfa, iqlaab, dan kawan-kawannya.”
Semuanya terdengar asing bagi Adam. Dia mencari alasan untuk menolak permintaan tersebut.
“Sa..saya besok mau mancing Pak Ustadz, udah janjian sama Iqbal dari kemarin.”
“Ya, sudah, nanti saya minta Komar saja.”
Sepulang dari Mushola, dia mengunci diri lagi di kamar, mengobrol dengan Cepu. Dia kebingungan dengan istilah-istilah yang diucapkan Pak Ustad tadi. Lalu, Adam mengutarakan permintaannya yang kedua.
“Besok, gua mau jalan sama Hani. Dia, kan, anak kuliahan, tuh, gua minta tolong dibikin pinter, dong. Biar dia terkesima sama gua, hehe.”
“Oke, Tuan.”
Keesokan harinya, pukul tiga sore Adam memanaskan motornya untuk pergi berkencan dengan Hani. Adam terlihat memesona dengan celana levis yang robek di bagian lutut dan kemeja abu-abu. Rambut ikalnya dikuncir setengah dan ditutup dengan topi.
Adam dan Hani kencan di kedai kopi. Adam penasaran melihat Hani yang tiba-tiba resah setelah membaca pesan dari ponselnya.
“Kenapa, Han?”
“Dosen gua ngasih tugas tambahan lagi, nih, buat besok. Baru aja kelar kerja kelompok, haduuh capek banget.”
“Sini gua bantu!”
Hani menyodorkan laptopnya ke Adam. Walaupun tidak yakin dengan tawaran Adam, Hani yang merasa lelah dengan tugas akhirnya menyerahkan semuanya kepada Adam. Melihat teman kencannya yang lancar mengetik, seperti tidak ada kendala sama sekali, membuatnya heran. Sepuluh menit, tugas itu diselesaikan oleh Adam. Hal itu tentu membuat Hani kagum.
“Waah, cepet banget, gilaaa! Teori yang Lu pake juga lengkap. Anjaay, Dam, gak nyangka Gua.”
“Ah, biasa aja, hehe.”
“Ngomong-ngomong, ini referensinya dari buku apa, yaa? Gua takut ditanya dosen gua nanti.”
“Hmm..buku apa, ya.. gua lupa judul bukunya, Han.”
“Yaah, yaudah, deh.”
Jam satu dini hari, Adam sampai di rumah. Dia mencoba masuk lewat jendela yang tidak dikunci karena rusak. Namun, dia tertangkap basah oleh ibunya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ibunya marah besar, seisi rumah terbangun karena kebisingan dan ikut memojokkan Adam.
Adam bergegas masuk ke kamar. Dia memanggil Cepu dan mengutarakan keinginan terakhirnya.
“Gua mau keluarga gua bangga sama gua!”
Setelah itu, Adam berusaha agar bisa terlelap. Di siang harinya, saat dia terbangun, dia mendengar riuh obrolan ibu-ibu di teras rumahnya.
“Iya, dari dulu si Adam bangunnya siang mulu, abis bangun tidur dia langsung makan dan pergi main, gak pernah dia bantuin gua. Wajar banget, sih, anak bujang, hehe. Bersyukur banget gua punya anak kayak Adam.”
“Lah, bu, anak kayak gitu, kok, dibanggain?”
“Iyalah, jelas, namanya juga anak laki-laki. Biarin aja kerjanya main, yang penting gua bangga sama anak gua.”
Mendengar semua itu Adam jadi bingung, lalu dia bertanya kepada Cepu.
“Cepu, kok, jadi gini, sih! Dari permintaan pertama sampe permintaan ketiga gua, kok, gaada yang bener?”
“Maaf, Tuan, tetapi sihir ini memang ada batasnya. Kalau Tuan ingin semuanya benar-benar berjalan sesuai kemauan Tuan, Tuan harus berusaha sendiri.”
“Berarti gua harus banyak belajar dan rubah sikap gua, gitu? Apa gua gak bisa melangkahi prosesnya gitu aja?”
“Betul, Tuan. Sekarang, karena tugas saya sudah selesai, Tuan bisa membuang peci ini agar saya bisa memberikan manfaat dan pelajaran ke orang lain.”
Sore hari, Adam pergi ke warung kopi di ujung kampungnya. Dia membeli segelas kopi dan rokok eceran. Setelah kopinya habis, dia mengucap salam perpisahan kepada Cepu dan menggantungkan peci tersebut di gapura. Kehadiran Cepu menyadarkannya tentang banyak hal. Sejak itu, Adam menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Kini, dia mengikuti les bahasa asing, kelas fiqih dan tajwid, membaca beberapa buku, dan mau membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah. Hubungannya dengan keluarga dan orang-orang di sekitanya mulai membaik. Adam tidak lagi diremehkan seperti dulu.