Perempuan dan Nasibnya

Perempuan adalah makhluk yang emosional. Mungkin laki-laki tidak mengerti ketika perempuan membesar-besarkan suatu masalah. Isi hati mereka ibarat sebuah buku yang kosong, siapapun akan sulit membacanya. Namun, jika ingin memahaminya maka dengarkan lah setiap kata yang disampaikan olehnya.
"Perempuan dan Nasibnya" | Ilustrasi ©Chiplanay/Pixabay

Perempuan adalah makhluk yang emosional. Mungkin laki-laki tidak mengerti ketika perempuan membesar-besarkan suatu masalah. Isi hati mereka ibarat sebuah buku yang kosong, siapapun akan sulit membacanya. Namun, jika ingin memahaminya maka dengarkan lah setiap kata yang disampaikan olehnya.

Aku sebagai perempuan terkadang bingung terkait perspektif orang yang tidak bisa membedakan tugas dan kodrat perempuan. Banyak orang yang sering bertanya, untuk apa kuliah? Apa gunanya pendidikan tinggi bagi perempuan? Mereka menganggap takdir perempuan hanya sebatas mengurusi dapur, melayani suami, dan membesarkan anak. Pandangan seperti itu membuatku jengkel dan kesal. Kenapa masih banyak orang yang berpikiran seperti itu?

Padahal, perjuangan dan sumbangsih perempuan dalam keberlangsungan peradaban manusia sangat lah besar. Akan tetapi, balasan yang mereka terima adalah pembatasan hak dan kewajiban yang tidak setara dengan laki-laki, pandangan-pandangan misoginis, dan pembungkaman suara. Perempuan juga kerap mendapat perlakuan pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, ketika mereka ingin memperjuangkan haknya, hukum tidak berpihak kepadanya.

Apalagi di sekitar kita masih ada anggapan bahwa vagina sebatas organ seksual. Anggapan seperti ini membuatku berpikir, menjadi perempuan itu ibarat buah simalakama, terlalu jago di tempat tidur dianggap pelac*r, menolak or*l dianggap tidak sayang suami.

Dengan rasa penasaran aku mulai membaca buku terkait perempuan, patriarki, gender voices. Aku hanya ingin belajar memecahkan perspektif-perspektif yang menyudutkan perempuan. Bukan berarti aku ingin dianggaplebih tinggi dari laki-laki. Aku hanya ingin membuka pandangan mereka, bahwa perempuan seharusnya didukung, bukan dipatahkan semangatnya.

Ketika perempuan dipandang berbicara kurang lebih separuh jumlah bicaranya laki-laki, mereka sudah dinilai mendominasi pembicaraan (speder, 1978,Hal,19). Suara mereka cenderung dibatasi dan tidak didengarkan. Dunia terlalu banyak memberi tuntutan terhadap perempuan.

Mereka diharuskan memiliki kesempurnaan, tetapi hal itu tidak dibebankan juga kepada laki-laki. Kita terlalu cepat menghakimi perempuan, menganggap mereka tidak bisa melakukan banyak hal. Menyedihkan!!! Memasak saja sudah dianggap semacam tes apakah seorang Perempuan layak dinikahi atau tidak. Inilah beban dan rasa takut yang dipikul para perempuan.

Padahal, kodrat perempuan hanya tiga, menstruasi, melahirkan, dan menyusui, sedangkan tugas rumah adalah kewajiban bersama, harus dikerjakan bersama-sama. Pendidikan penting bagi perempuan, bahkan Ibu Kartini meyakini kaum perempuan lah yang pertama kali memikul kewajiban sebagai pendidik.

“Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan di rumah tangga hendaknya membentuk watak anak itu. Perempuan lah, kaum ibu yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari manusia, yang biasanya terkenang dalam hidupnya.”

Kartini merasa kelak kaum perempuan akan memiliki pengaruh dan tugas besar sebagai seorang Ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Karena itu, dia berpendapat bahwa seorang perempuan harus terdidik dengan baik. Akan tetapi, mengapa hingga saat ini perempuan masih dianggap berkewajiban mengurus dapur, sumur, dan kasur saja?

Bahkan di Palestina, seorang perempuan dibakar hidup-hidup karena melakukan hubungan seks dan dianggap memalukan keluarganya. Ketika laki-laki sudah jelas memperkosa, pertanyaan yang muncul masih seputar: Apa yang dikenakan si perempuan? Apakah dia pergi sendirian, atau jangan-jangan si perempuan yang “meminta” untuk diperkosa?

Simalakama bukan, mungkin jika vagina bisa menyuarakan hak-haknya, suaranya akan menjadi yang paling lantang.

Islam dan Feminisme muslim dapat dianggap sebagai bentuk jihad melawan ketidakadilan sosial. Saat perempuan telah muncul sebagai kekuatan politik di negara-negara Islam di Timur Tengah dan di tempat lain. Gerakan feminisme telah menjadi salah satu gerakan sosial paling ampuh di zaman modern yang terus menyuarakan keadilan, demokrasi, dan kesetaraan.

Kegagalan kaum feminis akademis untuk mengenali perbedaan sebagai kekuatan penting adalah kegagalan untuk menjangkau melampaui pelajaran patriarkal pertama.

Dalam berbagai teori Feminisme, representasi yang adil adalah mewakili setiap golongan dan kelompok masyarakat, mulai dari kelompok adat, agama, gender, hingga ras. Representasi yang mewakili setiap kelompok sangatlah penting untuk menentukan kebaikan bersama, termasuk soal perempuan. Perwakilan yang merupakan representasi terpilih seharusnya bukan berdasarkan siapa yang mayoritas atau minoritas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *