Aku ingat, sore itu kita pergi ke pantai untuk melihat matahari pamit. Aku menggenggam tanganmu erat seolah kau akan pergi bersama matahari. Padahal, matahari tak akan membawa orang lain bersamanya. Matahari datang dan pergi sendiri. Matahari tak pernah mengambil apa yang bukan miliknya.
Seperti biasa, setiap sore aku menghabiskan waktu di teras rumah, sekadar melamun, menghisap rokok, dan meminum kopi. Memikirkan apa-apa yang sebenarnya tak perlu dipikirkan. Tak seperti biasanya, sore ini Ayah duduk di sampingku,
“Sesuatu yang pergi, meskipun kembali ia tak akan sama, Nak,” ujarnya dengan tatapan mata yang lurus.
Aku tak menjawab, kepalaku tertunduk, mendengarkan.
“Perpisahan adalah hal yang sulit dihindari. Sudah menjadi ketentuan setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Hanya saja, Tuhan memiliki beragam cara memperkenalkan kita dengan perpisahan. Perceraian adalah salah satu bentuk perpisahan. Meskipun ayah tahu Tuhan tidak menyukai perceraian, tetapi ayah rasa itu lebih baik daripada mempertahankan hubungan yang menyakitkan, Nak,” lanjut ayah sembari tersenyum dan mengusap kepalaku.
Ayah berdiri lalu masuk ke dalam rumah. Aku tahu dia tersenyum hanya untuk menutupi kesedihannya. Ia harus tetap menjaga wibawanya sebagai ayah untuk tidak menangis di depan anaknya. Aku bangga memiliki ayah yang kuat. Aku tidak bisa membohongi diri bahwa aku membenci perceraian ini. Aku menginginkan keluarga yang utuh dan harmonis.
“Ah, persetan!” ujarku dalam hati.
Aku lantas bergegas mengganti pakaian untuk menghirup udara yang tidak dicampuri bau perpisahan dan pertengkaran. Motorku berhenti di sebuah café yang ramai pengunjung. Orang-orang duduk sambil tertawa seolah tidak punya beban. Padahal aku tahu setiap orang memiliki masalahnya masing-masing.
Ada yang duduk bersama teman-temannya, ada yang berduaan dengan pacarnya, dan ada yang duduk bersama keluarganya. Semua dari mereka tampak menikmati obrolan dan melupakan masalahnya. Aku duduk sendiri di pojok, melihat dari kejauhan penampilan band café yang sedang berlangsung. Aku menikmati lagu yang mereka mainkan, setidaknya ini melupakan beban yang aku pikul.
Kopi yang aku pesan hampir habis. Aku berdiri untuk kembali memesan kopi,
“Acal… Acal…,” teriak seorang wanita yang aku kenal suaranya.
“Laras!” ujarku sambil menghampirinya.
Kami berbasa-basi layaknya orang yang sudah lama tidak bertemu. Laras adalah mantan pacarku. Sebenarnya, aku dan Laras belum pernah mengakhiri hubungan ini. Laras menjalin hubungan dengan lelaki lain saat sedang menjalin hubungan denganku. Aku mengetahui itu, tetapi tidak pernah menuntut penjelasan dari Laras. Aku langsung pergi dari kehidupannya tanpa mempermasalahkan hal tersebut dan membuat hubungan Laras dengan lelaki itu berantakan.
Laras mengajakku duduk menikmati kopi dan alunan musik bersama.
“Kau tahu kenapa aku tidak mempermasalahkan perselingkuhanmu?” ucapku, menatapnya.
“Karena kamu tidak menyayangiku, bukan?” ucapnya tegas.
Aku sedikit tersenyum, “Karena menyayangimu aku membiarkan semua itu. Aku tak percaya omong kosong tentang puncak cinta adalah merelakan orang yang kita sayangi bersama orang lain, tetapi aku percaya jika cinta bukanlah keterpaksaan. Cinta adalah kata hati.”
“Perpisahan membuatmu semakin tegar dan bijak, Acal.” Ucapnya, kagum.
“Ya! Perpisahan adalah kepastian. Aku sudah mempelajari berbagai macam bentuk perpisahan, Laras. Mulai dari kakekku yang meninggal, ibu dan ayahku yang bercerai, dan kamu yang pergi bersama orang lain. Tidak ada yang indah dari perpisahan. Namun, aku belajar banyak darinya.”
“Kamu masih sama, Acal. Tak ada yang berubah darimu. Kamu selalu memaknai setiap kejadian baik atau buruk. Bolehkah aku mengatakan hal sejujurnya, Acal?” ucapnya, pelan seolah ragu mengucapkan.
Matanya berkaca-kaca. Aku memberinya tisu untuk menyanggah air matanya yang jatuh.
“Laras, bukankah kamu mengenalku? Kamu tentu tahu aku tidak suka melihat orang yang aku cintai bersedih. Mari kita habiskan hari ini dengan kesenangan. Akan aku tunjukan kepadamu indahnya bulan di antara bintang, indahnya lampu kota yang menghiasi kegelapan, dan indahnya berbagai ciptaan Tuhan,” ucapku sembari mengusap tangannya.
“Acal… kamu udah maafin aku?” ujarnya sembari menangis.
“Kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan selalu kalah oleh cinta. Seolah semuanya berjalan baik-baik saja, cinta menyulap segala bentuk kesalahan untuk dibenarkan. Aku memaafkanmu, Laras. Tapi, aku mengingatnya. Mari kita mulai kembali hubungan ini dengan baik. Bukankah sesuatu yang dibangun dengan baik akan berakhir baik?”
“Aku mencintaimu, Acal.”
Ia memelukku. Malam semakin larut dan angin semakin dingin. Dia memelukku erat. Aku mengantarnya pulang dan menunggu di depan gerbang memastikan ia masuk ke dalam rumah dengan selamat.
Sesampainya di rumah, aku memikirkan perkataan ayah tadi sore, “Sesuatu yang pergi, meskipun kembali ia tak sama.” Seolah ada sesuatu yang aku sesali dari pertemuan aku dengan Laras, tetapi aku tidak tahu apa yang perlu disesali.
Aku tersenyum bahagia Laras kembali bersamaku. Aku tertidur dengan senyum bahagia bak prajurit yang memenangkan perang.
Cuaca cerah seolah sedang berpihak kepadaku. Aku bersiap hendak mengajak Laras pergi ke perpustakaan. Sejak dulu, aku memang sering mengajak Laras pergi ke perpustakaan untuk membaca. Namun, di perpustakaan orang-orang tidak boleh berisik. Jadi, kami sering dimarahi oleh penjaga perpustakaan karena tertawa terlalu keras. Hanya karena di tengah keheningan, kami selalu mendengar suara perut salah satu dari kami. Suara itu menandakan kami sudah terlalu lama di perpustakaan dan memutuskan pergi mencari makan.
Aku menelepon Laras, tetapi tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk langsung pergi ke rumahnya dan menjemputnya. Rumahnya sepi. Aku menunggu di depan rumah Laras, sampai tiba Laras bersama Laki-laki yang aku kenal. Ya, dia adalah lelaki yang sama saat Laras pergi dariku. Ternyata Laras masih berhubungan dengan lelaki itu. Memang salahku terlalu terburu-buru.
Aku dan Laras saling memandang. Aku menunduk dan pergi dari rumah Laras saat Laras hampir sampai di depan rumah. Seperti prajurit yang kehilangan teman saat berperang, aku pulang dengan kekalahan.
Kesedihan mulai kembali meliputi. Tak ada yang indah dari pertemuan setelah perpisahan. Aku kembali duduk di teras rumah, melamun dan menikmati udara yang bercampur perpisahan. Seolah mengetahui anaknya sedang bersedih, Ayah duduk di sampingku.
Aku adalah orang yang jarang bercerita, terlebih soal masalahku. Aku yakin, Tuhan selalu memberikan jalan keluar dari setiap masalah. Bahkan, aku yakin Tuhan tau aku kuat sehingga Dia berikan masalah seperti ini.
“Bukankah sesuatu yang dimulai dengan baik akan berakhir baik, Ayah?” tanyaku memecah keheningan.
Ayah tersenyum lalu mengusap kepalaku, “Tak ada yang bisa memutuskan sesuatu berakhir buruk atau baik, Nak. Ayah selalu percaya Tuhan mempunyai skenario yang indah. Kamu terlalu berpikir bahwa kamu adalah penulis yang dapat mengatur ceritamu. Kita adalah tokoh dalam tulisan. Kita hanya diperbolehkan improvisasi, bukan mengatur alur atau merubah cerita.”